"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati.
Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan ...
Ziarah Wali Sembilan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dizaman modern ini masyarakat
Indonesia telah banyak yang melupakan sejarah-sejarah terutama sejarah
peradaban Islam di Indonesia.
Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia
telah mencapai puncaknya dengan diproklamirkannya proklamasi oleh Ir. Soekarno,
sesungguhnya perjuangan bangsa ini masih banyak yang harus disempurnakan. Sejak
awal kebangkitan Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam
kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua
pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu.
Satu golongan berpendapat, negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah
negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan
politik, sebagaimana diterapkan di negara turki oleh mustafa kamal. Golongan
lainnya bependapat, negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”.
Pada abad 15 para
saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah
hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara.
Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah
Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam
menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa. Walisongo berasal
dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal
sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari arab saudi dan daerah
arab lain yang tidak menganut syiah.
1. Pengertian
Tentang Walisongo?
2.
Model Penyebaran Islam Walisongo
3.
Kemajuan Islam Masa Walisongo
4. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
5. Agama Islam dan Kekuatan Politik Masa Kolonialisme
6. Politik Kolonialisme Terhadap Islam
BAB I
PEMBAHASAN
A.
WALI SONGO DAN PERADABAN
ISLAM DI INDONESIA
a . Pengertian Dan Nama – Nama Walisongo
Kalau kita mendengar kata wali songo tentu terbayang
dalam pikiran kita tentang waliyullah yang berjumlah Sembilan, padahal tidak
demikian. Wali adalah sosok hamba Allah yang taat beribadah menjalankan
perintah Allah dan mejahui larangan_Nya. Wali adalah hamba yang menjadi kekasih
Allah dari sekian banyak makhluk yang ada bumi ini. Wali songo hanya merupakan
sebuah istilah yang sering di ucapkan oleh umat manusia sekarang ini padahal
sesungguhnya mereka ( Walisongo) Tidak mengenal kata songo.
Secara umum yang di anggap
walisongo di bumi jawa ini adalah
1)
Syeikh Maulana
Malik Ibrahim atau (Gresik )
2) Raden Rahmat atau Sunan Ampel (Surabaya)
3)
Raden Paku atau Sunan Giri ( Gresik)\
4)
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang ( Tuban)
5)
Raden Qosim atau Sunan Drajat (Lamongan)
6)
Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ( Kadilangu Demak)
7)
Raden Umar Said atau Sunan Muria (Kudus)
8)
Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus (Kudus)
9)
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati (Cirebon)
1.
SyeikhMaulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum
Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh
awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana
Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas
tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua
putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali
Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu,
tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan
keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa
orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih
berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah
Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai
tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek
Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya,
yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini
terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2.
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota
Wonokromo sekarang) Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau
Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440,
sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya
itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi
penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25
kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut
membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk
muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk
menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang
dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke
berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi.
Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang
menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
“Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni
seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada
tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3.
Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku,
alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi)
pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan
dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri
raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut
anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana
Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena
itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat
dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai.
Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa
Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-
memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat
dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia
diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri
Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai
penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura,
Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan,
Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran,
lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula
Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
Islam.
4.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga
cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri
seorang adipati di Tuban Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga:
sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal
itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan
sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima
Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan
Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
5.
Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak
Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan
Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M Sunan
Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir
Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati
atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1
kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini
bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah,
Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian
yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri
makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya,
ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
6.
Sunan
Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau
putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid
sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak
bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia
mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi
ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicampuk 100 kali sampai
banyak darahnya dan diusir.
Setelah diusir selain mengembara, ia
bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalau Raden Sahid
diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai
berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan
Kalijaga.
Sunan kalijaga menggunakan kesenian
dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai
kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam
seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan
tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena
pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan
Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton
untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik
dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan
ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.[1][16]
7.
Sunan Muria
Ia
putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak,
dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil
dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara
kota Kudus Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul
dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok
tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan
pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530),
Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun
rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua
pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga
sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil
dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
8.
Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra
pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.
Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang
berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima
Perang Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke
berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan
Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan
lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus
yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan
sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik
untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi
cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan
Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan
Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang
Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan
Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
9. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang
dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah
SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon
Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat
masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri
dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif
Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama
Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan
Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan
Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan
Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia
juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung
Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur
dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada
Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
b.
Model Penyebaran Islam
Walisongo
Sejarah walisongo berkaitan
dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa. Sukses gemilang perjuangan
para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan didukung penuh oleh kesultanan
Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian besar manyarakat Jawa,
mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Islam benar-benar menjadi agama
yang mengakar.
Para wali ini
mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan
agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga
pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal perkembangan
Islam, sistem seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan
ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak masal
bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain
prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan
ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu
dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi
atau wafat maka akan segera diganti oleh walilainnya. Era Walisongo adalah
era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan
dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia.
Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain. [1][27]
Kesembilan wali ini mempunyai peranan
yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15.
Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:
Ø
Sebagai
pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal
ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
Ø
Sebagai
para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa
hidupnya.
Ø Sebagai orang-orang yang ahli di bidang
agama Islam.
Ø Sebagai orang yang dekat dengan Allah
SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang
lebih.
Ø Sebagai pemimpin agama Islam di daerah
penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di
kalangan masyarakat Islam.
Ø Sebagai guru agama Islam yang gigih
mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
Ø Sebagai kyai yang menguasai
ajaran agama Islam dengan cukup luas.
Ø Sebagai tokoh masyarakat Islam yang
disegani pada masa hidupnya.
Berkat
kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh
pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.
c.
KEMAJUAN ISLAM MASA WALISONGO
Pelembagaan
Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran wali, yang di dalam konsepsi
orang Jawa disebut sebagai Wali Songo (wali yang berjumlah sembilan). Melalui
peran walisongo inilah Islam berkembang dan melembaga di dalam kehidupan
masyarakat, sehingga banyak tradisi yang dinisbahkan sebagai kreasi dan hasil
cipta rasa walisongo yang hingga sekarang tetap terpelihara di tengah-tengah
masyarakat. Mula-mula para wali itu mengembangkan Islam di daerah sekitar
tempat tinggalnya. Sunan Ampel mengembangkan Islam di Surabaya, tepatnya di
daerah Ampel Dento, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Giri di Giri Gajah, Sunan
Drajad di Drajad, Sunan Muria di daerah Muria, Sunan Kudus di daerah Kudus,
Sunan Kalijaga di Kadilangu dan sekitarnya serta sunan-sunan lainnya yang
berdakwah di daerahnya masing-masing. Namun demikian, mereka juga menyebarkan
Islam sampai jauh ke tempat lain.
Di
dalam pelembagaan Islam, walisongo menggunakan beberapa tahapan, yaitu:
Mendirikan masjid.
·
Mendirikan
masjid berarti membangun tempat sujud. Pada dasarnya, setiap orang bisa
melakukan shalat di sembarang tempat, sebab semua tempat di bumi ini adalah
masjid artinya tempat bersujud, asalkan tempat itu diyakini suci. Dalam proses
penyebaran Islam, maka para wali mendirikan masjid, tidak hanya dalam fungsi
sebagai tempat beribadah tetapi juga sebagai tempat pengajian. Dari masjidlah
penyebaran Islam dimulai.
·
Di
dalam masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat strategis untuk
pengembangan komunitas Islam. Selain sebagai tempat ritual, masjid juga sebagai
pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjidlah segala
aktifitas pengembangan komunitas Islam berlangsung. Di dalamnya dilakukan
penyusunan strategi, perencanaan dan aksi di
dalam kerangka penyebaran Islam di tengah kehidupan masyarakat.
Mendirikan
pesantren
Peranan pesantren
sebagai lembaga penyebaran Islam di Jawa, merupakan lembaga yang paling
menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang
peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai pelosok-pelosok.
BAB II
1.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE
INDONESIA
Mengenai perdagangan dan
para pedagang dalam mengislamkan indonesia, dimana pengaruh dan penyebaran
islam efektif sekali. Hal ini disebabkan karena banyak orang yang begitu saja
tertarik untuk mmemeluk agama islam sebelum mempelajari syariat agama secara
terperinci.
Sejak awal abad masehi,
sudah ada rute- rute pelayaran dan perjalanan antara kepulauan Indonesia dengan
berbagai wilayah di daratan Asia Tenggara. Di wilayah Barat Nusantara dan
sekitar Malaka sejak masa konu merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian.
Pedagang- pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke
kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke -7 M, ketika Islam pertama
kali berkembang di Timur Tengah.
Pedagang-pedagang muslim
asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk
berdagang sejak abad ke 7 M (abad 1 hijriah), ketika Islam pertama kali
perkembang di timur tenggah. Hubungan perdagangan ini menjadi hubungan
penyebaran Islam di Indonesia.
Sejak abad pertama
nusantara yang menghasilkan komuditi penghasil rempah-rempah dan banyak disukai
di eropa(romawi) masa itu menyebabkan pedagang-pedagang arab singgah dipantai
barat sumatra dan selat malaka yang menghubungkan imperium timur. Pedagang Arab
sudah menjadi pengatur jalur perdagangan barat-timur.
a.
Islam Masuk ke Indonesia
Paling tidak ada dua
pendapat mengenai masuknya islam di indonesia. Pertama pendapat lama, yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abat ke-13 M. Pendapat ini
dikemukakan oleh para sarjana, antara lain N.H.Krom dan Van Den Berg. Kemudian
pendat pertama mendapat sanggahan dan bantahan. Kedua pendapat baru yang
menyatakan bahwa islam masuk ke indonesia pada abad ke-7 atau abad 1 hijriah
pendapat baru ini dikemukakan oleh H. Agus Salim, M. Zainil Arifin Abbas,
hamka, dll.
Menurut seminar masuknya
Islam di Indonesia di medan tahun 1963, Islam masuk ke Indonesia sejak abad
ke-7 M.
Seminar masuknya Islam di
Indonesia tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut
1.
Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah
masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriah(abad ke-7) langsung dari Arab.
2.
Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatra, dan bahwa
setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di
Aceh.
3.
Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia aktif mengambil
bagian.
4.
Mubaligh-mubaligh Islam yang pertama-tama itu sebagai penyiar Islam juga
sebagai saudagar.
5.
Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan denga cara damai.
6.
Kedatangan Islam di Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi
dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[4]
Pendapat senada tentang
masuknya Islam di Indonesia dikemukakan oleh Thomas W. Arnold dalam the
preaching Islam, ia mengatakat, “mungkin Agama ini telah dibawa kemari oleh
pedagang-pedagang Arab sejak abad-abad pertama hijriah, lama sebelum kita
memiliki catatan ssejarah dimana sebenarnya pengaruh mereka telah mulai
terasa.
Menurut literatur kuno
tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan arab Islam di
pesisr pantai sumatra. Jadi hanya 9 tahun sejak rasulullah saw memproklamirkan
dakwah Islam secara terbuka, di pesisir pantai sumatra sudah terdapat sebuah
perkampungan Islam. Akat tetapi, pada priode ini islam belum berkembang secara
menyeluruh dan hanya beberapa wilayah yang sudah memeluk Islam, misalnya
sebagian sumatra dan sebagian pantai utara jawa.
Adapun perkembangan
selanjutnya, Islam berkembang secara lebih besar pada abad ke 12 M. Menurut
para sejarawan Islam masuk ke Indonesia melalui beberapa jalur, sehingga dengan
cepat dapat diterima oleh masyrakat Indonesia.
Jalur-jalur yang
dilakukan oleh para penyebar Islam yang mula-mula di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1.
Melalui Jalur Perdagangan
Pada taraf
permulaan, saluran Islamisasi adalah perdangan. Islamisasi melalui perdagangan
ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam
kegiatan perdagangan. Mereka yang melalukan dakwah islam, sekaligus menjadi
pedagang.
2.
Melalui jalur perkawinan
Dengan melalui jalur perkawinan, para
menyebar Islam melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Melalaui jalur
perkawianan mereka telah menanamkan cikal bakal kader-kader Islam.
3.
Melaui jalur tasawuf
Para penyebar Islam juga terkenal
sebagai pengajar-pengajar tasawuf. Oleh karena itu, penyebaran Islam kepada
masyarakat Indonesia melalui jalur tasawuf atau mistik ini mudah diterima
karena sesuai dengan alam pikiran masyarakat indonesia. Misalnya, menggunakan
Ilmu-ilmu riyadhat dan kesaktian dalam proses penyebaran Islam kepada penduduk
setempat.
4.
Melalui jalur pendidikan
Dalam Islamisasi di Indonesia ini, juga
dilakukan melalui jalur pendidikan seperti pesantren, surau, masjid dan
lain-lain yang dilakukan oleh guru-guru Agama, Kyai dan Ulama.
5.
Melalui jalur kesenian
Para penyebar Islam juga menggunakan
kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra, dan
berbagai kesenian lainnya.
6.
Melalui jalur politik
Para penyebar Islam juga menggunakan
pendekatan politik dalam penyebaran Islam. Pengaruh politik raja sangat
membantu tersebarnya Islam di indonesia. Demi kepentingan politik,
kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam.
Kemenangan-kemenangan secara politik banyak menarik penduduk kerajaan yang
bukan Islam memeluk Islam.
.
2. AGAMA DAN KEKUATAN POLITIK PADA MASA KOLONIALISME
a.
Pendidikan Islam pada masa
penjajahan Belanda
Kehadiran belanda di Indonesia tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam
Indonesia, tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Segala
aktivitas umat islam yang berkaitan dengan keagamaan ditekan. Belanda terus
menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengamalan agama islam.
Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan secara terbuka dilarang, ibadah haji
dibatasi dan setiap jama’ah haji yang pulang ke indonesia diawasi dengan ketat
untuk mengantisipasi pengaruh muslim yang telah haji yang dapat membangkitkan
semangat perlawanan pemerintah Belanda.6
Politik yang dijalankan pemerintah Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasari oleh adanya
ras ketakutan, rasa panggilan agamnya yaitu kristen dan rasa kolonialismenya. Dengan begitu, mereka menerapkan
berbagai peraturan dan kebijakan, di antarnya :
·
Pada tahun
1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan islam yang mereka sebut Prieserraden. Dari nasihat badan inilah, pad tahun 1905, pemerintah
Belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya menyatakan bahwa orang yang
memberikan pengajaran atau pengajian agma islam harus terlebih dahulu meminta
izin kepada pemerintah Belanda.
·
Tahun 1925
keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama islam, yaitu
tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pengajaran mengaji, terkecuali telah
mendapatkan semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
· Tahun 1932 keluar lagi peratuaran
yang isinya berupa kewenagan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah
yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh
pemerintah Belanda yang disebut ordonansi sekolah liar.
v Pendidikan islam sebelum tahun 1900
Pendidikan pada masa ini bercirikan
sebagai berikut:
- Dilakukan secara perorangan,
melalui rumah tangga, maupun surau atau mesjid
- Lebih menekankan ilmu praktis,
seperti tentang ketuhanan dan peribadahan
- Pelajaran diberikan satu demi
satu
- Pelajaran ilmu sharaf didahulukan ketimbang ilmu nahwu
- Buku pelajaran pada umumnya dikarang
oleh ulama Indonesia, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa setempat
- Kitab yang digunakab umumnya ditulis
tangan
- Pelajaran suatu ilmu hanya diajarkan
dalam satu macam buku saja.
- Karena terbatasnya bacaan, materi
ilmu agama sangat sedikit.
- Belum lahir aliran baru dalam
islam
v
Pendidikan
islam pada tahun 1900-1908
Masa ini disebut juga periode peralihan,
dengan bercirikan hal-hal sebagai berikut :
- Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu
dihimpun secar sekaligus
- Pelajaran ilmu nahwu didahulukan atau disamakan dengan
ilmu sharaf
- Semua buku pelajaran merupakan karangan ulama kuno
dalam bahasa arab
- Semua buku dicetak
- Suatu ilmu diajarkan dari beberapa
macam buku: renadah, menengah dan tinggi
- Telah ada toko buku yang memesan buku-buku dari mesir
dan mekah
- Ilmu agama telah berkembang luas
berkat banyaknya buku bacaan
- Aliran baru islam seperti yang
dibawa oleh majalah al-manar di mesir mulai lahir
v Pendidikan islam sesudah tahun 1909
Pada masa ini
gaung isu nasionalisme merambah berkat tampilnya Budi utomo. Sistem madrasah
baru dikenal pada permulaan abad ke 20. Sistem ini membawa pembaharuan, antara
lain :
1. Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan
atau sorogan menjadi klasikal
2. Pengajaran pengetahuan umum disamping pengatuhan agama dan bahasa arab.
b. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang
Pendidikan islam zaman penjajahan jepang dimulai
pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya belanda saja yang mencoba berkuasa di
Indonesia.
Dalam perang
pasifik (perang dunia ke II), jepang memenangkan peperangan pada tahun 1942
berhasil merebut indonesia dari kekuasaan belanda. Perpindahan kekuasaan ini
terjadi ketika kolonial belanda menyerah tanpa sayarat kepada sekutu.Penjajahan
jepang di indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama asia raya)
dengan semboyan asaia untuk asia. Jepang mengumumkan rencana mendirikan
lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940. Jepang akan
menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria, daratan
cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia, dan asia rusia. Lingkungan kemakmuran
ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang
dibawah satu atap).
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer
kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa
pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer
dalam peperangan pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang
selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret
1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait
pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.
Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda
2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan
dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan
Belanda.
Sementara
itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1. Mengubah
Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim
Asy’ari.
2. Pondok
pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
3. Mengizinkan
pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran
bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4. Mengizinkan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim,
Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
5. Diizinkannya
ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang
belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6. Diizinkannya
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian
dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan
semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya
hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya
kemerdekaan.
Kepercayaan
jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan
jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di
Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya
kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam, sehingga tanpa
disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup mempunyai potensi
untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah. Sistem
pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai
berikut:
(1)
Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko atau Sekolah Rakyat). Lama studi 6
tahun.Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari
Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
(2)
Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama)
dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga
dengan lama studi 3 tahun.
(3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah
lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran,
pendidikan, teknik, dan pertanian.
(4)
Pendidikan Tinggi.
Disini beberapa tujauan pendidikan
islam ketika zaman penjajahan antara lain:
a.
azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan azaz
perjuangan dakwah islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b. INS(Indonesische Nadelanshe
School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i (1899-1969) bertua memdidik anak untuk
berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk
manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c. Tujuan
Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat,
disamping mejadi kemaslahatan umat Islam itu sendiri.
.
3). POLITIK
KOLONIALISME TERHADAP ISLAM
Sebelum Islam datang, di
Indonesia telah berkuasa kerajaan Hindu dan Budha. Pada abad ke-7, Islam telah
menyebar luas di Indonesia, karena peranan budha masih memegang peranan
dikerajaan Sriwiajaya, terutama dalam Politik dan sosial budaya.[5]
Masuknya islam didaerah
di Indonesia tidak bersamaan, disamping itu, keadaan politik dan sosial budaya
daerah ketika didatangi Islam juga berlainan. Datangnya orang-orang Islam ke
daerah-daerah yang baru disinggahi sama sekali belum memperhatikan
dampak-dampak politik, karena awalnya mereka datang hanya untuk pelayan dan
perdagangan.[6]
Pada abad ke-13, kerajaan memasuki masa kemunduran, dalam hal ini
pedagang-pedagang muslim memanfaatkan politiknya dengan mendukung daerah-daerah
yang muncul dan menyatakan diri sebagai kerajaan Islam.
Islam sebagai Agama yang
memberikan corak kultur bangsa Indonesia dan sebagai kekuatan politik yang
menguasai stuktur pemerintahan sebelum datangnya belanda dapat dilihat dari
munculnya kkerajaan-kerajaan islam di nusantara ini, antara lain di sumatra,
jawa, kalimatan dan sulawesi.
a.
Islam di Sumatra
Ada tiga kerajaan yang
terkenal disumatra yang telah memosisikan Islam sebagai Agama dan sebagai
kekuatan politik yang mewarnai corak budayanya, yaitu Perlak, Pasai, dan Aceh.
Pada abad ke-8, sumatra terbagi dalam delapan kerajaan besar yang semuannya
menyembah berhala, kecuali satu kerajaan yang berpegang pada Islam yaitu
kerajaan perlak. Sistem pemerintahan yang diterapkan oleh kerajaan perlak pada
dasarnya mengikuti sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh Daulah Abbasiyah,
yaitu kepala pemerintahan dipegang oleh sultan dengan dibantu oleh beberapa
wazir. Kerajaan samudra Pasai, kerajaan ini ditaklukkan oleh penjajah portigis
krisdani dengan memperakarsi negara Islam bersatu, yaitu menyatukan tenaga
politik Islam di dalam sebuah negara yang kuat dan berdaulat yang diberi nama
Aceh besar.
b.
Islam di Jawa
penyebar Islam pertama di
Jawa adalah para Wali Songo, meraka tidak hanya berkuasa dalam bidang agama
tetapi juga dalam bidang sosial dan politik. Dalam percaturan politik Islam
mulai memosisikan diri ketika melemahnya kerajaan majapahit yang memberi
peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membagun pusat-pusat kekuasaan
yang independen.
Di samping kekuatan politik Islam yang
memberi konstribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup
dimasyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non muslim untuk
memelukknya. Dengan kata lain, para bupati telah menjadikan Agama Islam sebagai
instrumen politik untuk memperkuat kedudukannya.
c.
Islam di Kalimatan, Maluku, dan Sulawesi
Pada awal abad ke 16,
Islam masuk ke kalimantan selatan, yaitu di kerajaan daha yang beragama hindu.
Berkat bantuan sultan demak raja daha dan rakyatnya masuk Islam sehingga
berdirilah kerajaan Islam banjar, dengan raja pertamanya adalah pangeran
samudera yang diberi gelar pangeran Suryanullah atau Suriansah, daerah-daerah
sekitarnya mengakui kekuasaannya. Pada abad ke-10/11 di maluku sudah ramai oleh
perniagaan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala yang dilakukan oleh
pedagang Arab dan Persia. Pada saat ini telah terhadi sentuhan pedagang
Muslim dengan rakyat Maluku yang membentuk komunitas Islam. Dengan
besarnya gelombang perdagangan muslim atas ajakan datu maulana Husain, para
raja di ternate menerima Islam sebagai Agama. Di Sulawesi, Raja Gowa-tallo
memeluk Islam atas ajakan Datuk Rianang ai diberi gelar sultan Aluddin di talo
raja l Malingkoan daeng nyonri kareng katangka pada tahun yag sama masuk Islam
dengan gelar sultan Abdullah awal Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qurtuby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal
Ahimsakarya Press.
Dupriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Effendy,
Facri Ali-Bachtiar. 1990. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
Graaf,
De, & Pegeaud.1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT.
Pustaka Grafitipers.
Hasbullah.
1999. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Ibrahim Boechari, Sidi. 1981. Pengaruh
Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau. Jakarta:
Gunung Tiga.
Purwadi, & Enis Niken. 2007. Dakwah
Wali Songo, Yogyakarta: Panji Pustaka
Simon,
Hasanu. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sujatmo. 1989. Wayang dan Budaya
Jawa. Semaranag: Dahara Prize.
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir,
Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara.
Syukur, Fatah. 2009. Sejarah
Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Yatim, Badri. 1994. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya